25 November 2009

Marah², maki² ke PLN boleh² saja, tapi kita baca ini dulu yuu, biar "sedikit" ngerti

Krisis Listrik, Tanggung Jawab Apa dan Siapa?

Jakarta - Program 10.000 Mega Watt (MW) yang merupakan program Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, ternyata gagal total karena sampai akhir 2009 PT PLN hanya mendapat pasokan tambahan listrik sebesar 900 MW atau kurang dari 10%. Hal ini disebabkan investor China yang menjadi pendukung utama program ini, ingkar janji.

Semula investor China bersedia membiayai program pembangunan pembangkit 10.000 MW tanpa jaminan dari Pemerintah RI. Namun pada akhirnya mereka meminta jaminan kepada Pemerintah sebesar 50% dari total investasi yang diperlukan. Hal ini tentu saja mengganggu kocek Pemerintah, meskipun dana perbankan BUMN sudah turun membantu.

Bermasalahnya pembangunan Proyek 10.000 MW ini tentunya menghambat penyediaan ketenagalistrikan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Minimnya dana subsidi,
Tarif Dasar Listrik (TDL) yang lebih rendah dari Biaya Pokok Produksi (BPP), tidak
mencukupinya subsidi yang disediakan oleh Pemerintah dan tidak bankable-nya PT PLN (Persero) merupakan hambatan yang sangat serius bagi keberlangsungan suplai ketenagalistrikan di Indonesia.

Pertanyaannya: Siapakah yang paling bertanggung jawab? PT PLN (Persero) sebagai operator ataukah Pemerintah sebagai regulator? Dampak dari persoalan di atas membuat PT PLN (Persero), sebagai satu-satunya perusahaan penyedia jasa ketenagalistrikan di Indonesia, seolah-olah merupakan institusi tertuduh yang paling bertanggung jawab terhadap buruknya pelayanan ketenagalistrikan di Indonesia.

Listrik sering mati, tegangan naik turun, harga tidak pernah turun tetapi pelayanan makin buruk merupakan tuduhan yang selalu dialamatkan publik, DPR dan Pemerintah ke PT PLN (Persero). Lalu, apa dan siapa dong yang sebenarnya harus bertanggung jawab terhadap buruknya ketenagalistrikan di Indonesia? Mari kita bahas secara singkat tapi padat.

Kebijakan Ketenagalistrikan, Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Dalam memproduksi listrik, PT PLN (Persero) sangat terkait dengan tersedianya pembangkit, transmisi dan distribusinya serta suplai dan jenis energi yang digunakan. Semakin sedikit jumlah pembangkit dan semakin banyak penggunaan energi fosil yang tak terbarukan, seperti minyak bumi, maka BPP akan semakin mahal.

Pertanyaannya, apakah semua itu bisa ditanggulangi hanya oleh operator saja, seperti PT PLN atau BUMD atau Perusahaan Listrik Swasta lainnya jika UU Ketenagalistrikan yang baru sudah berlaku?

Tentu saja tidak karena PT PLN (Persero) hanya sebuah operator ketenagalistrikan seperti yang tercantum dalam UU Ketenagalistrikan Kondisi PT PLN sebagai operator tidak akan berubah membaik meskipun Direktur Utama PT PLN, Fahmi Mochtar, digantikan oleh Jack Welch (mantan CEO GE) atau Warren Buffett (pemilik lembaga keuangan Berkshire Hathaway) sekalipun.

Hal itu disebabkan karena kebijakan investasi serta perizinan untuk membangun pembangkit baru, menentukan harga jual (TDL) dan jenis energi yang digunakan, 100% menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagai regulator dengan pengawasan dari DPR-RI.

Operator hanya mengusulkan. Keputusan ada di tangan Pemerintah. Institusi Pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap kebijakan di atas adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan, ditambah Kementerian BUMN sebagai wakil pemegang saham mayoritas.

Kementerian ESDM bertanggung jawab tentang kebijakan energi nasional yang sampai hari ini belum jelas. Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap alokasi dan besaran dana subsidi, besaran deviden serta pajak-pajak yang harus disetor. Apakah PT PLN (Persero) bisa seenaknya membeli gas alam atau batubara dengan harga lebih murah daripada harga pasar dunia (ekspor) tanpa nantinya Direksi harus behadapan dengan BPK/BPKP atau bahkan KPK dengan tuduhan merugikan negara dan masuk bui? Tentu saja tidak bisa tanpa seizin Pemerintah dan DPR-RI. Padahal dengan menggunakan bahan bakar gas atau batubara, BPP PT PLN bisa jauh lebih murah sehingga TDL tidak perlu terlalu sering naik.

Begitu pula PT PLN (Persero) juga tidak boleh berinvestasi sembarangan, kalaupun mempunyai cukup dana, untuk membangun pembangkit serta transmisi harus seizin Kementerian ESDM (memerlukan waktu sekitar 300 hari), Kementerian Keuangan, Komisi VII, Komisi XI dan Panitia Anggaran di DPR-RI.

Secara pribadi saya tidak membela PT PLN (Persero) tetapi mencoba menjelaskan pada publik tentang siapa bertanggung jawab apa, terkait dengan ketenagalistrikan di Indonesia. PT PLN tidak mungkin berubah jika banyak faktor yang tidak menjadi kewenangannya harus diubah. Sebagai operator, PT PLN hanya bisa menjalankan kebijakan, merawat fasilitas yang ada, bekerja efisien dan melayani konsumen dengan baik.

Bagaimana Kondisi Ketenagalistrikan Indonesia Terkini?

Sahibul hikayat untuk memenuhi kebutuhan operasi dan investasi PT PLN (Persero) tahun 2010 dibutuhkan dana kurang lebih sebesar Rp 80 triliun. Angka ini tentunya fantastis tetapi kalau melihat efek bola saljunya, mau tidak mau, suka atau tidak suka dana tersebut harus dipenuhi Pemerintah agar pertumbuhan ekonomi bisa kembali ke tingkat saat sebelum krisis keuangan tahun 98, yaitu 7%. Di mana infrastruktur akan tumbuh 14% dan akan tercipta lapangan kerja yang baik. Tanpa listrik, kita jangan banyak berharap akan sejahtera. Haree genee tanpa listrik?

Sebagai catatan pemasukan PT PLN untuk tahun 2010 berasal dari penjualan surat utang (domestik dan internasional) sebesar Rp 9 triliun, dana internal PT PLN yang berasal dari penerimaan TDL dan lain-lain Rp 21,39 triliun (setelah TDL dinaikkan minimal sebesar 23% awal tahun 2010), dan subsidi Pemerintah tahun 2010 sekitar Rp 37,8 triliun. Sehingga dana total yang tersedia untuk tahun 2010 saja hanya sebesar Rp 68,19 triliun atau defisit sebesar Rp 11,81 triliun.

Kebutuhan akan ketenagalistrikan bagi Indonesia sudah harus atau mutlak. Apa pun alasannya karena kekuatan pembangkit yang ada sudah beroperasi secara maksimal pada beban puncak. Kalau tidak segera dibangun pembangkit baru, maka listrik akan semakin sering padam dan kehancuran pembangkit yang ada akan semakin cepat karena dipaksa untuk bekerja terus menerus dengan perawatan minimal demi memenuhi kebutuhan listrik publik.

Terakhir, kalau pun ada masalah korupsi di lingkungan PT PLN, serahkan saja pada aparat penegak hukum untuk segera diproses tetapi jangan menjadi alasan Pemerintah untuk menghambat pertumbuhan ketenagalistrikan di Indonesia. Investasi dan terobosan di ketenagalistrikan oleh Pemerintah harus 'Now or Never'.

saya akan melanjutkan pembahasan masalah krisis ketenagalistrikan di Indonesia, khususnya jaringan Jamali (Jawa-Madura-Bali) yang selama ini dianggap banyak pihak cukup aman dan tidak akan mengalami penyalaan bergilir seperti sekarang. Sementara di luar Jamali sudah lima tahun belakangan ini listrik menyala secara bergiliran. Protes demi protes dari pelanggan dan Pemda ke pihak PT PLN (Persero) tak juga memperbaiki kualitas ketenagalistrikan diluar Jamali karena memang bukan PT PLN (Persero) semata yang harus bertanggung jawab tetapi juga Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) sebagai regulator.

Supaya jelas tanggung jawabnya di mata publik, sebaiknya Pemerintah RI jangan memberi nama PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) tetapi PT OLN (Operasi Listrik Negara). Yang nota bene memang hanya menjalankan operasional dan manajemen perusahaan, seperti layaknya perusahaan obat atau perusahaan kosmetik atau perusahaan korek kuping. Mereka tidak mengatur berbagai kebijakan dan perizinan yang menjadi landasan hukum beroperasinya sebuah perusahaan.

Supaya listrik bisa tersedia dengan baik dan terjangkau oleh publik, perlu aturan perundang-undangan yang jelas di sektor hulunya, seperti ketersediaan energi murah, sistem distribusi, transmisi dan di hilirnya yang terkait dengan harga jual, kompensasi jika merugikan pelanggan dan sebagainya. Operasi ketenagalistrikan hanya bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses produksi listrik sampai ke konsumen, bukan pengatur. Jika sumber energi murah tidak bisa diperoleh dengan mudah, harga jual ke konsumen mahal dan listrik menyala bergiliran itu bukan sepenuhnya tanggung jawab perusahaan operasi listrik tetapi tanggungjawab Negara.

Solusi Jitu

Pertama, Pemerintah tidak serius memikirkan nasib bangsa ini ke depan yang akan kekurangan energi dan hidup kembali seperti di zaman batu. Bayangkan demi pendapatan tunai sesaat untuk menutup defisit APBN tahun berjalan, Pemerintah rela menjual energi primer kita seperti batubara dan gas alam ke luar negeri dengan sistem kontrak jangka panjang dan harga dipatok tetap sampai 20 - 30 tahun ke depan, seperti pada kasus Tangguh, Grissik dan lain-lain.

Tidak adanya kebijakan publik yang mengatur jumlah minimum energi yang harus dijual di pasar domestik agar dapat digunakan sebagai sumber energi murah oleh industri dalam negeri atau yang biasa disebut dengan Domestic Market Obligation (DMO) menjadi salah satu penyebab utama hancurnya ketenagalistrikan Indonesia.

Kebijakan ini memang sangat merugikan bangsa Indonesia dalam jangka panjang tetapi sangat menguntungkan APBN dalam jangka pendek. Coba baca isi kontraknya, saya jamin publik akan gemas dan marah karena posisi bangsa Indonesia sangat lemah. Ini yang membuat mantan Wakil Presiden Jusuf Kala pernah emosional dan melakukan negosiasi ulang dengan British Petroleum (BP) sebagai Production Sharing Contract (PSC) lapangan gas Tangguh beberapa waktu yang lalu.

Kedua, panjangnya rantai perizinan di regulator (Departemen ESDM dan Departemen Keuangan) membuat kondisi ketenagalistrikan Indonesia semakin sekarat. Bayangkan untuk mendapatkan izin membangun sebuah pembangkit listrik swasta (IPP), diperlukan waktu paling cepat 300 hari. Untuk konstruksinya sendiri diperlukan waktu sekitar 3 tahun, sehingga sebuah pembangkit baru bisa beroperasi dalam waktu sekitar 4 tahun sejak izin diajukan. Bukan main lamanya!

Ketiga, kewajiban Negara memberikan Public Service Obligation (PSO) atau subsidi dan menentukan Tarif dasar Listrik (TDL) tidak pernah berdasarkan hitung-hitungan nilai keekonomian ketenagalistrikan tetapi selalu hanya berdasarkan kepada kepentingan politis. Akibatnya industri ketenagalistrikan kita tidak pernah bisa beroperasi secara normal sebagai sebuah korporasi. Kebijakan seperti ini memang bisa mengurangi tekanan politik ke pemerintah yang sedang berkuasa tetapi secara nyata dan jangka panjang telah menghancurkan sistem ketenagalistrikan dan ekonomi Indonesia. Bagaimana mungkin ekonomi akan tumbuh hingga 7% jika listrik menyala secara bergiliran.

Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah

Terpuruknya ketenagalistrikan di Indonesia saat ini sudah sangat dalam dan akan berdampak luas secara sosial dan ekonomi masyarakat. Jika Pemerintah tidak segera melakukan langkah-langkah yang ekstrem dan tegas terkait dengan ketenagalistrikan, saya khawatir bangsa ini akan menjadi bangsa yang semakin direndahkan oleh bangsa lain karena masih hidup ala zaman batu. Lalu apa saja langkah-langkah ekstrem yang harus dilakukan regulator atau Pemerintah?

Pertama, Pemerintah dalam program 100 hari ini harus dapat menerbitkan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur DMO. Dalam PP tersebut, Indonesia harus mempunyai hak mendapatkan/membeli energi (batubara dan gas alam) minimal 35% dari jumlah yang diambil dari perut bumi Indonesia oleh PSC dengan harga ekspor terendah.

Alokasi ini dapat dimanfaatkan oleh industri dalam negeri, seperti industri listrik, pupuk, keramik dan sebagainya agar produknya kompetitif. Artinya semua PSC hanya boleh menjual ke pasar ekspor maksimal 65% saja dari yang mereka ambil. Tidak semua yang diambil dari perut bumi Indonesia diekspor seperti sekarang.

Kedua, dalam program 100 hari Pemerintah harus mencabut Peraturan Menteri ESDM No. 001 tahun 2006 jo Permen ESDM No. 004 tahun 2007 tentang Pembelian Tenaga Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepeningan Umum. Pembelian dan/atau sewa menyewa listrik antara PT PLN (Persero) dengan pembangkit swasta (IPP) sebaiknya dilakukan dengan cara Business to Business saja, tanpa melalui rantai birokrasi yang sangat panjang di Departemen ESDM seperti yang diatur oleh Permen tersebut.

Ketiga, dalam program 100 hari Pemerintah (Departemen Keuangan) harus menerbitkan sebuah peraturan yang menyatakan bahwa Pemerintah menanggung semua pajak dan bea masuk yang selama ini dibayarkan PT PLN (Persero) kepada Negara. Dengan cara ini Pemerintah diharapkan tidak usah melakukan pemberian subsidi secara tidak terukur seperti saat ini, kalaupun masih perlu memberi subsidi jumlahnya tidak terlalu besar sehingga tahun 2010 tidak perlu menaikkan TDL.

Keempat, dalam program 100 hari Pemerintah (Departemen ESDM) harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang panas bumi, agar pelaksanaan eksploitasi dan eksplorasi energi panas bumi bisa kompetitif untuk menggantikan energi yang berasal dari fosil, misalnya minyak solar.

Kelima, PT PLN harus segera melaksanakan e-auction atau e-procurement untuk semua proyek pengembangan ketenagalistrikan PT PLN (Persero) dengan pihak swasta untuk mengurangi korupsi.

Terakhir, jika dalam 100 hari Menteri ESDM dan Menteri Keuangan tidak melakukan deregulasi tersebut, patut diduga mereka telah melakukan pembiaran yang dapat berakibat semakin terpuruknya bangsa ini. Untuk itu saya minta dengan hormat agar Presiden segera mengambil tindakan tegas terhadap Menteri bersangkutan.

Jika Presiden juga tidak melakukan tindakan apa pun dalam penyelamatan ketenagalistrikan Indonesia, kecuali hanya mengganti Direktur Utama PT PLN (Persero), patut diduga Presiden RI juga telah melakukan pembiaran. Mengingat sudah sangat kritisnya ketenagalistrikan kita, perlu didorong agar publik dapat melakukan tuntutan hukum secara kelompok atau class action kepada Presiden dengan menggunakan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Teman-teman di Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) saya tunggu langkah-langkah cantiknya untuk dapat memfasilitasi publik melakukan tuntutan tersebut.

source: Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).


Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2813973

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan adat ketimuran..

Tulisan yang paling banyak dikunjungi